UPACARA BASENTAMBA WARGA KI MANTRI TUTUAN PRATISENTANA SIRA DALEM MANGORI

Oleh : I Wayan Westa
Pura Pedarman Pusat Ki Mantri Tutuan

Ada tradisi khas yang diwajibkan bagi klan lain yang menyunting gadis dari keluarga besar Ki Mantri Tutuan, Pratisentana Dalem Mangori — dengan perkecualian; trah Tangkas Kori Agung luput dari wilarangan. Artinya klan ini dibebaskan dari denda serta kewajiban lainnya. Tradisi khas dimaksud adalah upacara ngaturang basén tamba. Ketentuan ini disuratkan dalam bisama Prasasti Ki Mantri Tutuan. Kejelasnnya, apabila keluarga Tutuan menikah keluar, baik untuk wanita yang diperistri atau nyeburin bagi warga laki-laki, mereka wajib menghaturkan upakara basén tamba. Upacara ngaturang basen tamba tergolong rangkaian upacara “matur piuning”, permakluman, permohonan anugerah sakala-niskala kehadapan Batara Kawitan di Pura Bukit Buluh, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Dengan harapan yang bersangkutan dianugerahi kerahayuan, dilindungi leluhur, dijauhkan dari penyakit, dilimpahi kesuburan, dan rezeki yang cukup. Warga diluar klan Tutuan kerap menyebut tradisi ini sebagai upacara mapamit. Sejatinya istilah ini kurang tepat sebab sesungguhnya dalam keyakinan orang Bali mereka senantiasa terhubung dengan kawitan baik itu kawitan nyata, ayah ibu, maupun kawitan tak nyata, leluhur yang telah maraga Batara-Batari.

Prasasti Ki Mantri Tutuan dengan gambelang menyuratkan kewajiban ini sebagai upacara ngaturang canang piuning. Ini artinya, upacara ngaturang basén tamba bukan upacara mapamit. Upacara ini adalah sebentuk “upacara pemberkahan” bagi pratisentana Ki Mantri Tutuan supaya dimana pun pratisentana menetap, dengan siapa pun mereka mengikat janji, membangun keluarga, senantiasa mendapat perlindungan, kerahayuan, kesejahteraan lahir batin. Pesan penting upacara ini supaya pratisentana tidak melupakan Batara Kawitan yang dimuliakan di Pura Bukit Buluh. Karenanya, ngaturang basén tamba bukan upacara mapamit. Inilah yang dimaksud sebagai “jalan leluhur”. Dengan menghormati, memuliakan leluhur paling dekat; orangtua, kakek-nenek otomatis leluhur lebih tinggi; Batara-Batari hingga Batara Siwa Guru ikut terbahagiakan.

Pertanyaan kemudian, kenapa basén tamba itu mesti dihaturkan di Pura Bukit Buluh Gunaksa? Jawabnya, karena begitu titah bisama yang disuratkan dalam Prasasti Ki Mantri Tutuan sebagaimana kutipan awal bab ini. Bisama dimaksud menjadi rujukan mendasar kenapa ngaturang basén tamba wajib dilaksanakan– terutama bagi pratisentana Ki Mantri Tutuan yang menikah keluar. Memang, begitu yang bersangkutan menikah keluar, pihak keluarga pangambil diwajibkan menghaturkan basén tamba di Pura Bukit Buluh. “…katur ka Bukit Buluh,” demikian prasasti Ki Mantri Tutuan menyuratkan tegas. Ini artinya bila upacara ngaturang basén tamba tidak dihaturkan di Pura Bukit Buluh, yang bersangkutan dianggap melanggar bisama Batara di Bukit Buluh, dan secara etik dianggap melanggar ketentuan yang tersurat dalam prasasti Ki Mantri Tutuan. Banyak kasus menyedihkan dialami warga yang melanggar ketentuan ini. Ciri-ciri paling menonjol, kehidupan tidak tenteram, sakit-sakitan, boros, susah rezeki, termasuk sulit mendapat keturunan. Fakta-fakta ini3 dilaporkan banyak warga. Dari pengalaman ini lalu terbangun keyakinan, tak ada orang yang berani melanggar bisama, diyakini bisa mengundang petaka. “Ila-ila daat” kata para tetua di Gunaksa.

Selain ngaturang basen tamba, di zaman-zaman silam Pura Bukit Buluh, Gunaksa juga merupakan tempat ngaturang upacara paneduh bagi petani di lingkungan Subak Gunaksa, Sampalan, Dawan, dan sekitarnya. Upacara paneduh dihaturkan ke Bukit Buluh saat mana tanaman di sawah terserang hama — terutama hama belalang, mati pucuk, piret, dan sebagainya. Masyarakat di sekitar Kecamatan Dawan yakin, bahwa hama belalang itu atas kuasa Ida Batara yang malinggih di Pura Bukit Mastapa. Upacara neduh biasanya digelar atau dilakukan pada sasih keenem. Maksud dan tujuan upacara ini; para petani memohon kehadapan Batara Pajenengan ( meru tumpang sebelas ) di Bukit Buluh supaya hama dan penyakit tanaman dijauhkan, berharap semua pala-wija, pala-gantung mendapat kesuburan. Sampai di sini muncul pertanyaan, apa pula tujuan upacara ngaturang basen tamba itu? Jawabnya, di samping untuk memohon kerahayuan, berkah amrtan urip, upacara ini dimaksudkan sebagai permakluman, pengesahan lahir-batin ikatan pernikahan. Setelah syah menikah, yang bersangkutan berhak menjalankan kewajiban sekala-niskala pada keluarga purusa dari soroh mana pun — termasuk dari keluarga yang berbeda agama dan keyakinan.

Apa sesungguhnya upacara basén tamba itu? Apa pula makna tersirat didalamnya? Kenapa hanya trah Tangkas Kori Agung dibebaskan dari upacara ini? Apa saja banten inti upacara ini? Jawaban atas pertanyaan ini dibahas sambil lalu dalam pembahasan singkat berikut. Dua pertanyaan mendahului, sudah dijawab secara sekilas. Pertama-tama mari kita bahas apa pengertian dari basén tamba. Frasa basén tamba berasal dari dua kata, yakni ; basé dan tamba. Basé berarti sirih, dalam bahasa Jawa Kuna disebut sêdah atau sêrêh (latin: piper 4 betle). Kata tamba berarti obat. Jadi arti gramatikal frasa basén tamba adalah sirih pelengkap obat. Namun pengertian tamba atau obat dalam upacara ngaturang banten basén tamba mengandung pengertian simbolik, sebagai upacara peneduh, penghening jiwa, peneguh janji pernikahan.

Dalam pengertian khusus upacara ini merupakan upacara atur piuning (pemberitahuan,permakluman) serta permohonan anugerah, pamaripurna lahir batin kehadapan Batara Kawitan yang berstana di Pura Bukit Buluh. Yang terutama tentu supaya dijauhkan dari penyakit, dilimpahkan kebahagian, rezeki dan kesuburan. Sirih atau canang adalah piranti ritual penting dalam upacara pernikahan dan pemujaan pada luluhur di Bali, begitu juga untuk upacara-upacara tradisi di Nusantara ini.

Hampir semua piranti ritual di Bali mempergunakan sirih sebagai sebagai sarana paling dasar — termasuk upacara ngaturang basén tamba sendiri. Tengok saja misalnya istilah canang pangraos, banten yang dipakai dalam upacara meminang maupun pertemuan-pertemuan khusus seperti; parum, sangkep, dan lain sebagainya. Biasanya canang pangraos dipilih dari sirih yang urat-urat atau ruas-ruas pada daun selalu bertemu. Maka itu dsebut basé temu ros. Dengan harapan, segala pertimbangan, segala pandangan, segala perkataan ( ros, raos) menemukan kesepakatan. Ada juga istilah basé tampin, basé yang diatur dalam posisi tertentu sebagai pelengkap dasar banten daksina. Ada pula base tulak, basé yang diatur dalam posisi terbalik, yang ditaruh dalam banten bea kaon, salah satu sarana dalam upacara pabersihan/pabeakaonan. Yang lain juga berupa basé porosan, daun sirih yang diolesi kapur dan buah pinang (areca catechu) sebagai sarana inti dari banten canang, lambang penunggalan Batara Tri Murti; Brama, Wisnu, Siwa. Setidaknya begitu disuratkan dalam lontar Bhuwana Mabah.5 Tentang kegunaan sirih memiliki peranan penting dalam perjalanan panjang kehidupan keagamaan di Jawa maupun Bali. Laporan perihal sirih dalam kaitannya dengan ritual pernikahan dan seremoni istana pernah dicatat Ma Huan dalam kunjungannya ke Jawa di awal abad ke-15. Ma Huan sebagaimana dikutip sejarawan Anthony Reid dalam buku berjudul Indonesia, Revolusi, & Sejumlah Isu Penting menyatakan: Pria dan wanita mengambil pinang, daun sirih, mencampurkannya dengan kapur sirih yang dibuat dari cangkang kerang; mulut mereka tidak bisa lepas dari campuran bahan ini… Saat mereka menerima tamu yang mampir, mereka menjamunya bukan dengan minuman ten namun dengan pinang (2018: 17).

Kita jarang melihat orang-orang Jawa yang tidak mengunyah sirih dan pinang yang dicampur dengan kapur sirih. Mulut mereka menjadi merah….dan jika mereka akan berbicara pada raja….juga saat bertamu ke rumah orang lain, sirih itu segera ditempatkan di pusar ( dilipat dalam balutan kain, pen), demikian dicatat Antonio Pigafetta, dalan laporan perjalanan bertajuk First Voyage Round the World (1969:32). “Hingga abad ke-16 dan 17, ketika kita sudah memiliki lebih banyak penjelasan, nginang atau nyirih sudah dilakukan hampir di semua tempat di Asia tropis sebagai bentuk tata krama untuk tamu di istana atau desa, sebagai simbol ritual utama, sebagai obat pencernaan, pasta gigi dan penyegar mulut, dan sebagai penenang agar hidup lebih bisa ditanggung — khususnya saat bepergian, di masa perang atau saat kekurangan makanan,” tulis Anthony Reid. Mengutip sejumlah sumber terpecaya, dari tulisan-tulisan para peneliti kebudayaan di Nusantara, Anthony Reid meringkaskan data-data mengenai nyirih di kepulauan Indonsia.

Bahwa tidak menawarkan sirih, atau menolak nyirih ketika ditawari, akan dianggap sebagai penghinaan. Menurut Anthony Ried (2018:79), pentingnya nyirih bagi kehidupan orang Indonesia mencapai tingkatan lebih dalam apabila kita mempertimbangkan perannya dalam hampir setiap jenis ritual. Sirih 6 adalah bahan-bahan amat menonjol dalam ritual dan praktik penyembuhan. Begitu juga dalam upacara-upacara persembahan pada leluhur. Peran paling khas dari sirih di Indonesia (dan di wilayah sekitarnya) adalah dalam ritual istana dan perkawinan. Pemberian dan menerimaan sirih identik dengan acara lamaran dan pertunangan di mana istilah yang didasarkan pada nama areca dalam bahasa Melayu, pinang menjadi eufemisme untuk ritual pinangan atau meminang.

Penelitian para ahli perihal sirih sebagai obat telah dilakukan sejak berabad-abad lalu. Teks-teks pengobatan di Bali semisal lontar Usada Taru Pramana mencatat sirih sebagai obat limuh (pingsan). Disertai cara meramu; segenggam daun sirih muda dicampur telur ayam, madu, laos (isen) lima iris guna dipakai jamu (loloh). Begitu pula teks-teks Usada yang lain, menempatkan sirih sebagai sarana penting pengobatan. Misalnya, sebagai jampi saat hidung mimisan, obat batuk dengan campuran daun sirih tua (kakap) direbus bersama isen (lengkuas), serta sedikit garam. Dan tentu banyak penyakit lain yang tidak bisa diuraikan di sini. Memang sejak abad ke-12, sebagaimana dikutip Anthony Ried dari Chau Ju-kua, nyirih mencegah orang-orang Asia Tenggara bersendawa setelah makan. Pada awal abad itu, Louis Lewin memberikan penjelasan masuk akal mengenai observasi dalam kaitannya dengan diet orang Asia kurang asupan nitrogen.

Dikatakan, “Ekses dari penguraian asam yang dihasilan dari makanan ini dapat terbentuk di perut. Jus alkaline dari potongan sirih dapat menetralkan asam ini dan bertindak sebagai pereda, memperkuat selaput lendir di dalam perut (2018:85). “Nyirih membantu pencernaan, menenangkan otak, memperkuat gigi, sehingga pria yang mengunyahnya biasanya punya yang utuh, tidak ada yang ompong, bahkan sampai usia delapan puluh tahun. Mereka yang nyirih memiliki nafas harum, dan jika sehari saja tidak nyirih maka nafas mereka mejadi amat bau, ” demikian catatan Tomé Pires di abad ke-16, 7 saat ia berkunjung ke Jawa dan negara-negara Asia lainnya. Catatan yang kemudian ditulis dalam buku masyur berjudul The Suma Oriental (2015). Perihal sirih atau sedah ditempatkan dalam renungan-renungkan tinggi kaum terpelajar Jawa maupun Bali. Para kawi atau pujangga di masa silam mengambil perumpaan mendalam tentang praktik makan sirih. Bahwa mereka yang tidak terbiasa makan sirih mustahil bisa merasakan rasa yang enam itu (sad rasa).

Karena itu mustahil pula bisa merasakan karya[1]karya tinggi yang dikarang para kawi. Siapa saja yang tak berpengetahuan, tak ubahnya goa yang kosong. Ia tak tertarik mendengar tuturan indah,dan pesan-pesan moral, renungan-renungan rohani yang disajikan para kawi. Tentang sirih dan pengetahuan perihal rasa, Kakawin Niti Śāstra menyuratkan sebagai berikut : Ring wwaṅ tan wruha riṅ subhāsita mapuṅguṅ maṅraseṅ saḍrasa/tan wruh paṅrasaniṅ séḍah pucaṅ adoh tambūla widyāsepi/yan wwantén mawiweka śastra nirapekșa byakta monabrata/yan wwaṅ maṅkana tulyaniṅ rahinika lwirnyan guwekā hidep// Artinya; orang yang tidak mengetahui keindahan bahasa, tentu tidak pula merasakan rasanya sirih, pinang, kapur, maka ia sepi dari pengetahuan; bila ada orang yang membicarakan sastra, tentu ia tidak memperhatikannya, ia diam bagaikan orang-orang melakukan monabrata; orang seperti itu kalau diumpamakan wajahnya bagaikan gua.

Tak jauh beda dengan apa yang dipadankan Kakawin Niti Sastra, terkait kenikmatan makan sirih, sebagai praktik dan pengetahuan memahami rasa, Mpu Sedah bersama Mpu Panuluh, pengarang Kakawin Bhāratayuddha juga meliris pandangan yang sama perihal kenikmatan makan sirih. Begini antara lain kakawin itu menyuratkan: Lwir tan wruh ring unādhika ng alas apiņda bisu tulis watunya ring jurang/ honyang kumbang i kembang ing rangin adoh wruha ri resep i puspa ning sêḍah/ angöng cengga manuknya cod anacad ing siyung atuha ri kalagwan ing wukir/ tekwan tan kahanan welas harep ulah ni sepaha nika tan lumis mata. (BY. 1:16 Wahirat)//8 Artinya: Bagai orang yang tak tahu sopan santun si hutan, seperti orang bisu tuli batunya dalam jurang/ ada kumbang diam di bunga pohon dadap, tak mungkin tahu tentang nikmat rasa bunga sirih/ betapa congkak si burung jalak mencela si siung, hingga umur tua tetap tinggal di gunung/ dan tidak pernah belas kasihan, seperti halnya si pohon tebu, tidak pernah mencucurkan air mata//

Penjelasan panjang lebar di atas memberi kita pemahaman secara mendasar tentang apa itu upacara ngaturang basén tamba. Tiada lain adalah upacara permakluman kehadapan Batara Kawitan, dengan harapan sang pemohon yang telah menikah keluar selalu mendapat perlindungan leluhur, dijauhkan dari penderitaan, mendapat rezeki layak, serta bahagia lahir batin. Makna simbolik upacara ngaturang basén tamba bisa kita lihat dari penyertaan base seloyohan, daun sirih yang dibentuk kojong, dilengkapi pinang, kapur, gambir, dan tembakau. Basé seloyohan ini ditaruh pada piranti upakara yang disebut “basén wakul”. Inilah sesungguhnya piranti inti dari keseluruhan upakara yang dihaturkan dalam upacara nganturang basén tamba.

Dari sini pula penamaan basén tamba bisa diurai. Apa gerangan itu “basen wakul”? “Basen wakul” adalah wadah bernama wakul, yang didalamnya disatukan sejumlah sarana upakara meliputi: pejati, anget-anget atau rempah-rempah, daun pudak harum, kain putih kuning, canang pangraos di atasnya ditaruh base seloyohan, serta sesari sesuai ketentuan. Inilah yang disebut “basen wakul”. Sirih atau basé adalah rasa, padanan rasa halus ketulusan hati yang dipersembakan pada leluhur. Anget-anget atau rempah-rempah adalah obat atau tamba, penyeka derita, harapan terbebas dari penderitaan dan kesakitan. Pudak arum, adalah tumpuhan doa, kelak generasi yang lahir selalu memuliakan leluhur. Pikiran, kata-kata, dan tindakan kita selalu mengharumkan 9 kesucian Sang Muasal, sang sangkan paraning dumadi, yang dipuja sebagai Batara Kawitan.

Pertanyaan terakhir perlu dijawab, kenapa klan Tangkas Kori Agung dibebaskan dari wilarangan? Kenapa hanya warga ini dibebaskan dari kewajiban ngaturang basen tamba di Pura Bukit Buluh? Kenapa cuma klan Tangkas Kori Agung mendapat kebebasan untuk “juang-kajuang”, terutama terkait aturan pernikahan dua wangsa ini. Bisama perihal wilarangan ini amat jelas disurat dalam prasasti Ki Mantri Tutuan: Sané patut juang-kajuang Tangkas Kori Agung, tan hana wilarangan. Para tetua Tutuan di Gunaksa hanya memahami bisama ini sebagai perintah, tanpa perlu bertanya kenapa perintah ini ada. Lagi pula kita memang tidak menemukan data tertulis selain data pendek yang ditulis sebagai bisama. Jawaban paling masip yang bisa diberikan, karena begitu tersurat dalam prasasti. Tapi baiklah kita coba telusuri ranting-ranting dunia babad di Bali, satu[1]satunya bahan non sejarah yang bisa kita rujuk memperkuat tafsir sejarah ini. Kendati pun agak gelap, sejumlah keterangan bisa dipastikan bisa memberi jawaban pada sejumlah pertanyaan. Maka sejumlah alasan bisa diajukan di sini kenapa klan Tangkas Kori Agung bebas dari wilarangan: Alasan pertama dirujuk dari keterangan Lontar Pamancangah Arya Tangkas, Babad Arya Kanuruhan, serta tafsir Babad Tangkas Kori Agung ditulis Dr. I Ketut Seregig (2014). Dalam tiga sumber ini dikisahkan sedikit asal-usul Pangeran Tangkas Kori Agung di Kertalangu. Kisahnya dimulai dari kerajaan Gelgel saat Dalem Sagening naik tahta sebagai raja IV menggantikan Dalem Bekung, kira-kitra tahun 1610 Masehi. Dalem memiliki patih kesayangan yang ditempatkan di Kertalangu. Namanya Kyayi Tangkas Dimade, dengan panggilan Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti.10 Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti memiliki dua putra. Putra pertama bernama Ni Luh Tangkas, setelah gadis disunting putra Bendesa Gelgel keturunan Kyayi Pasek Gelgel. Putra kedua, laki-laki bernama Kyayai Tangkas Dimade, memakai nama sama dengan nama sang ayah. Dari sinilah bermula tragedi kelam itu. Kyayai Tangkas Dimade yang masih taruna itu dibunuh sang ayah karena menerima surat salah alamat dari Dalem Saganing. Kala itu Dalem hendak menghukum mati seorang pejabat negara bernama I Mamor. Dalem memerintahkan I Mamor menyerahkan surat rahasia pada Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti, ayah Kyayi Tangkas Dimade. Tujuannya, I Mamor segera dibereskan. Isi surat sandi itu adalah: “pa-pa[1]nin-nga-tu-se-li-ba-ne-te-tih ( Paman Patih Paténin né ngaba tulisé), “Paman bunuhlah yang membawa surat ini”. Dengan menaiki kuda I Mamor membawa serta surat itu ke Kertalangu untuk diserahkan kepada Kyayai Tangkas Kaluwung Sakti. Sayang yang dituju tidak di rumah kala itu. Dikabarkan ia tengah sibuk di sawah “memikat” burung perkutut. Surat kemudian dititip pada sang anak, Kyayi Tangkas Dimade. I Mamor pun pergi menghadap raja kembali ke Gelgel. Siang, Kyayai Tangkas Kaluwung Sakti pulang ke rumah. Surat titipan dari I Mamor diserahkan pada sang ayah. Begitu dibuka, air mata sang ayah meleleh, sembari bertanya pada sang anak. “Apa gerangan dosamu pada sang raja anakku”? “Sebutir debu hamba pun tak memiliki salah pada sang raja ayah,” Kyayai Tangkas Dimade coba meyakinkan sang ayah. “Anakku, Kyayai Tangkas Dimade, teruslah berbakti pada sang raja. Yang mulia junjungan kita. Sedebu pun kita tidak boleh ada perasaan sangsi pada raja. Hari ini, ayah akan membunuhmu. Karena begitu surat perintah 11 raja. Ini titah Nak, kita tidak boleh melawan. Kita kaula mesti taat pada raja. Bila dirimu memang benar, biarlah alam menentukan nasib kita,” begitu kata terakhir Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti pada sang anak. Sang anak menjawab lugas, “Hamba tak pernah mengelak perintah raja. Hamba selalu bakti pada beliau. Hidup mati hamba ada di tangan raja. Hamba serahkan jiwa hamba sepenuh bakti. Segera lakukan perintah raja ayah!”, cuma itu yang bisa dikatakan Kyayi Tangkas Dimade.

Diiring saudara-sadaura kerabat, air mata rakyat Kertalangu berurai. Usai bersuci diri, memuja di pamrajan, Kyayi Tangkas Dimade diantar menuju kuburan. Wajahnya yang tampan, kulitnya yang bersih tidak menampakkan rasa takut sekali pun. Tangis para wanita memecah senja, bunga-bunga di jalanan merunduk layu. Suara gagak melengking keras. Saat matahari mulai condong ke barat, dengan satu tusukan pedang di jantung, tembus ke punggung, Kyayi Tangkas Dimade tergolek di tanah. Tangan sang ayah gemetar, air matanya menitik, pedang yang masih berlumur darah itu jatuh ke tanah. Terlihat wajah sang anak tersenyum, senyum tanpa tanda dosa. Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti memeluk sang anak sembari sesengukkan. Tiba-tiba, sang raja, Dalem Saganing terkesiap, I Mamor ternyata datang kembali melapor. Ia masih hidup. “Sudah hamba serahkan surat titipan Dalem. Sayang hamba tidak menemukan Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti di rumah.

Kabarnya ia sedang bekerja di sawah. Surat hamba titip pada sang anak, Kyayi Tangkas Dimade,” I Mamor melapor terbata-bata. Roman muka Dalem Sagening tiba-tiba pucat. Segera mengutus sejumlah ajudan supaya Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti tidak membunuh sang anak. Sayang para ajudan terlambat datang, didapati Kyayi Tangkas Dimade telah dikubur. Cipratan-cipratan darah belum kering.12 Lama Kyayai Tangkas Kaluwung Sakti bersedih, saban hari selalu menyendiri. Berminggu-minggu ia tak pernah menghadap raja di Gelgel. Utusan kemudian datang ke Kertalangu. Kyayai Tangkas Kaluwung Sakti diperintah menghadap Dalem. Ia lalu bergegas menghadap Dalem di Gelgel.

Betapa hiba sang raja memandang patih kesayangan itu. “Kyayai Tangkas Kaluwung Sakti, Dalem minta maaf, kesalahan itu semoga tidak berulang. Tapi Kyayi! Yakinlah, anakmu akan tetap dua orang. Ini, ambilah istriku, Ni Luh Ayu Manikan Kayu Mas. Dia tengah hamil tiga bulan, mohon jangan diajak tidur dulu. Setelah anak ini lahir, beri dia nama Pangeran Tangkas Kori Agung, dan jadikan ibunya istrimu,” begitu kata-kata Dalem menaruh kasih pada Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti. Benar memang, Ni Luh Ayu Manikan Kayu Mas, mantan istri Dalem Seganing melahirkan anak laki-laki, lalu diberi nama sebagaimana dianugerahkan raja: Pangeran Tangkas Kori Agung. Memang secara biologis ia anak Dalem Saganing, raja Gelgel ke IV dalam dinasti Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Namun secara hukum, ia pewaris syah purusa dari Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti. Lalu apa hubunganya dengan Ki Mantri Tutuan? Apa pula makna wilarangan itu bagi trah Ki Mantri Tutuan dan Tangkas Kori Agung? Asumsi etiknya begini: Walau hanya putra biologis, Pangeran Tangkas Kori Agung adalah turunan syah dari dinasti Dalem Ketut Kresna Kepakisan, raja perwakilan setingkat gubernur pertama di Bali dari kerajaan Majapahit.

Secara geneologis ia cucu Dalem Waturenggong, cicit sedarah dari Dalem Sri Tegal Belesung. Kita tahu saat pertama ke Bali, antara tahun 1380-1400 Ki Mantri Tutuan diterima dengan baik Dalem Tegal Belesung. Setelah perpindahan kerajaan dari Samprangan ke Gelgel, atas ijin Dalem Ketut Ngulesir, kakak lain ibu Dalem Tegal Belesung, Ki Mantri Tutuan kemudian diberi 13 wewenang meneruskan kekuasaan Arya Buru di kawasan Bukit Buluh Gunaksa yang lama kosong, merawat sejumlah pura, menata kembali kehidupan masyarakat. Secara etik inilah alasan Ki Mantri Tutuan membebaskan trah Tangkas Kori Agung dari segala kewajiban.

Di samping untuk mengikat persaudaraan juga untuk menghormati trah Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang menurunkan dinasti kerajaan Gelgel dan Klungkung. Karena jelas secara biologis Pangeran Tangkas Kori Agung adalah juga trah Dalem yang diangkat anak oleh Kyayi Tangkas Kaluwung Sakti. Alasan kedua, kita bisa melihat hubungan geneologis trah Pangeran Tangkas Kori Agung serta ayah angkatnya bertemali dari leluhur yang sama. Yakni sama-sama trah dari Aryeng Kadiri yang cikal-bakalnya diturunkan dari Raja Airlangga, raja masyur tanah Jawa. Memang dua alasan di atas, menjadi alasan paling etis dan masuk akal.

Ki Mantri Tutuan tetap ingin membangun kekerabatan dengan trah Airlangga, yang melahirkan penguasa-penguasa besar di Bali. Rujukan atas tafsir ini bisa kita baca dari teks Kidung Pamancangah, Babad Dalem, Babad Arya Kanuruhan, dan karya penting C.C Berg dalam buku berjudul Penulisan Sejarah Jawa (1974). Selain dua alasan dimaksud, bisa jadi ada alasan lain, misalnya; Dalem Waturenggong di Gegel memberi “hak kebal” pada keturunan Kyayi Tangkas karena jasa dan pengabdiannya. Dalam buku Babad Tangkas Kori Agung (2014) I Ketut Seregig mengutip bisama Dalem Waturenggong kepada Kyayi Tangkas. Begini bisama itu dituliskan, “Khusus kepada Pangeran Tangkas sampai keturunannya, tidak kena tetegenan (kewajiban), bila ada kesalahan yang wajib dihukum mati oleh baginda raja, hanya dihukum usir, bila terkena hukuman wajib usir, boleh diampuni, tidak dikenakan panjing”.

Bila Kyayi Tangkas mendapat “hak kebal” dari Dalem Waturenggong, sebaliknya Ki Mantri Tutuan mendapat “hak kebal” dari Raja Airlangga saat ia mengabdi pada sang kakek. Mengenai “hak kebal” ini prasasti Ki Mantri Tutuan menyuratkan jelas, “….ana wit panugrahan Ida Prabu Erlangga saking Kadiri ring I Mantri Tutuan, ” Tan keneng tategenan, mwah yan danda pati wenang katawur antuk arta 8.800, mwang yening danda arta wenang kasinampura, terus tekaning tereh kita”. Artinya: “Ini anugerah Raja Erlangga di Kadiri kepada I Mantri Tutuan. “Tidak dikenai kewajiban, bila terkena hukum mati boleh dibayar dengan uang 8.800, bila terkena denda uang, boleh dimaafkan, begitu hingga keturunanmu”.

Nah karena sama-sama mempunyai “hak kebal” baik dari trah Tangkas Kori Agung maupun trah Ki Mantri Tutuan, ini artinya kedua belah pihak wajib saling menghormati. Kedua belah pihak sama-sama memuliakan bisama raja. Pangeran Tangkas Kori Agung memuliakan bisama Dalem Waturenggong, sedangkan Ki Mantri Tutuan memuliakan bisama Raja Airlangga, sang kakek yang pernah mendidiknya.

Riwayat Ki Mantri Tutuan dimulai dari kisah Dalem Mangori menyunting Ni Berit Kuning, anak raja Airlangga. Jadi Dalem Mangori adalah menantu Airlangga. Prasasti Ki Mantri Tutuan yang tersimpan di Pura Bukit Buluh mempertegas data dimaksud. “….dening I Mantri Tutuan katereh denira Prabu Erlangga saking kadiri nanging saking istri, saking purusa Ida Dalem Mangori (Prasasti Ki Mantri Tutuan). Ini lagi-lagi menyangkut penghormatan pada Airlangga. Ia adalah raja yang menurunkan trah Kasatria Kadiri di Bali perannya amat penting dalam pemerintahan raja[1]raja Bali. Disamping alasan-alasan yang boleh kita anggap masuk akal, tentu ada alasan-alasan yang sifatnya khusus, diantaranya karena hubungan 15 kekerabatan, pemuliaan pada trah, hubungan emosional, atau ada pertalian-pertalian lain yang kita tidak tahu. Dengan sejumlah alasan dimaksud, kini menjadi jelas kenapa trah Tangkas Kori Agung tidak dikenai wilarangan apapun — terutama wilarangan terkait hukum perkawinan antarsoroh. Boleh jadi ini hak istimewa yang didapat pratisentana Pangeran Tangkas Kori Agung, namun melebihi dari itu, dua keluarga besar ini sesungguhnya sama-sama memuliakan Raja Airlangga, raja yang dimuliakan di tanah Jawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *