UPACARA NANDAN WARGA KI MANTRI TUTUAN PRATISENTANA SIRA DALEM MANGORI

Oleh : I Wayan Westa
Foto Upacara Nandan Th. 2002

Upacara Nandan (Nebas Pitra)  Warga Tutuan Pretisentana Sire Dalem Mangori, desa tua di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung mewariskan upacara unik, Tiap tahun, saban tilem sasih Kedasa, di desa yang dibentengi bebukitan itu digelar upacara nebas pitra, lazim disebut nandan. Tak banyak sumber bisa dikorek kenapa upacara itu digelar. Berdasarkan catatan prasasti Tutuan, yang kini tersimpan di Pura Bukit Buluh, Desa Gunaksa, tradisi nandan ini tergolong upacara pitra puja, upacara pemujaan roh leluhur. Di situ tegas dicatatkan, nandan dimaksudkan sebagai upacara naur sosot atau naur danda sang pitara. Kendati ada warga diluar Desa Gunaksa ikut menggelar upacara ini, umumnya upacara nandan cuma digelar warga Tutuan. Tak ada catatan , kenapa warga Tutuan di Gunaksa menggelar upacara naur sosot . Prasasti Tutuan cuma menuliskan sebuah mistos, berkisah tentang kealpaan salah seorang leluhur warga Tutuan bernama I Surakerta, yang membunuh sapi milik I Rere Angon (anak Ni Berit Kuning dari pernikahannya dengan Prabhu Erlangga). Sapi itu bernama Sapu Jagat. Konon ekornya sampai menyentuh tanah, maka dari itu disebut I Sapu Jagat (apan ikutnia nyapu jagat). Disebutkan, sapi ini memiliki keunggulan gaib, diyakini sebagai sapi pembawa berkah – siapa saja meminjam sapi ini untuk membajak, tanah menjadi subur, hasil panen melimpah, tanaman dijauhkan dari hama (mawastu rahayu pamupun carik ika, tan kamerenan saisining sawah ika).

Berdasarkan sumber lisan, konon I Surakerta berumah di Dauh Baingin, diyakini berada di kompleks Pura Batur, tak jauh dari Banjar Patus, Desa Gunaksa. Dari gelagatnya, I Surekerta sosok yang tak pernah bersyukur, “tamak”, dan rendah budi.
Diceritakan, I Surekerta sudah begitu sering meminjam sapi Ki Sapu Jagat, toh ia tetap loba, memijam paksa sapi itu, sehingga petani lain tak mendapat giliran . Suatu hari, I Rere Angon menolak permintaan itu. I Surakerta marah, lalu membunuh Rere Angon (tan tiba brahmantyania, neher tinuwek anggania Rere Angon). Sapi diambil paksa, dibunuh dan disakiti (pinejahan linara-lara).

Sebelum rebah ke tanah, I Rare Angon sempat mengeluarkan kutukan, “Duh engkau Surakerta, di luar batas perilakumu, tidak memiliki balas budi, hatimu gelap. Saya sungguh tak berdosa padamu, kenapa kau membunuh diriku, sekarang kau kena kutuk diriku: “Jah tasmat! Semua keturunan I Surakerta dan kerabat wajib menghaturkan upacara pedandanan, dilakukan saat bulan mati sasih Kedasa.
Teks asli Kanda Purwanma Tutuan, berbunyi begini: “Ih Surakerta, tan piangga denta mambek, tan hanang darma budi, kewala lupa angidep. Apan ingsun tan adruwe dosa ring kita, mawastu ingsun pinejah dening kita, mangkin moga kita kawastonan dening ingsun: “Jah tasmat, sahananing satreh sentanan I Surakerta, tekaning saswangan ta kabeh, wenang angaturaken karya padandanan. Rikalaning tilem sasih kadasa, ring genah ingsun mapendem.

Dosa I Surakerta karena telah membunuh I Rare Angon dan Sapi Sapuh Jagat menempatkan roh dirinya dan keturunaannya dalam kedaan sosot, terbelit kutuk hingga tak bisa bebas, bersatu dengan Sang Maha Pencipta. Maka untuk membebaskan roh-nya ia harus menggelar upacara padandanan. Upacara ini mesti dibayar saat Ngusaba Pitra di Desa Gunaksa– berlangsung setahun sekali, saat tilem sasih Kedasa, bertempat di Pura Dalem Cungkub, konon di tempat ini Rare Angon dibunuh dan dikubur (ring genah ingsun mapendem), maka di tempat ini pula dilakukan upacara puncak Pangusaban dan Padandanan. Biasanya masyarakat di Gunaksa, terutama warga Tutuan, atau desa-desa lain seperti Sampalan, Desa Iseh, Karangasem menggelar upacara nandan usai upacara pangroras, dan ada juga menggelar upacara setelah upacara ngantukang Dewa Hyang. Maka upacara ini menjadi satu rangkaian dengan upacara dewa yadnya, yang khusus dilakukan untuk memuliakan dan pembebasan leluhur. Di titik ini upacara nandan pun dikaitkan dengan kewajiban sentana untuk membebaskan roh leluhur dari kutuk Rare Angon.

Hingga kini warga Tutuan di Gunaksa sangat percaya bahwa, Rare Angon (bukan Rare Angon anak Batara Siwa), tetap menjadi penjaga (ameng-amengan) Batara di Pura Bukit Buluh. Sekali waktu ada warga yang melihat Rere Angon tengah meniup seruling sembari mengembala lembu Sapu Jagat. Karena alasan ini pula Rare Angon dan Sapi Sapu Jagat diangkat menjadi lambang Desa Gunaksa.

Ada “kutuk” bila upacara tidak dilakukan. Orang terpelajar tahu kutuk adalah cara paling ortodok supaya pendukung tradisi bersangkutan tetap yakin. Teks Kanda Purwana Ki Tutuan misalnya menguraikan kutuk itu begini: “Yen kita predo, moga atmania manggih sangsara tan pagenah, tiba ring kawah candra goh muka, siyu tahun ya dadi entip kawah yang tan katebas. Yan amalku hana kadyeng arep ling kui, moga amanggih karahayuan paumahan ta, tekaning atma ira manggih sadia.”
Artinya : Jika engkau mangkir, semoga rohnya menemu sengsara, tak mendapat tempat, jatuh ke kawah cadra goh muka,jika tidak ditebus, seribu tahun dia menjadi aking kawah. Apabila dijalankan sebagaimana berlaku sejak dulu, semoga memperoleh kerahayuan, sanak keluarga sejahtera, roh leluhur menemukan kebahagiaan.

Seperti apa rangkaian upacara nandan warga Tutuan di Gunaksa? Gambaran pokoknya kurang lebih seperti ini. Sebulan sebelum upacara ngusaba/nandan dimulai, prajuru dan manggala menggelar parum. Paruman atau sangkepan ini biasanya membahas sejumlah persiapan upacara pangusaban dan nandan. Dihadiri semua perangkat desa, kelian banjar, dan pejabat tradisonal yang sampai kini tetap diberi hak dan kewajiban khusus, antara lain; nyungsung sejumlah palinggih di Pura Puseh; semisal, Kunta Rawos, Patinggi, Kagaduhan, Kadangkan, Penyarikan dan dsb. Kini pejabat tradisional itu jarang dilibatkan kecuali sebagai penyaksi upacara semata.

Bila ada krama yang menghaturkan upacara penandanan, upacara ngusaba bisa diundur sepanjang satu tilem, yakni saat memasuki Tilem Jiyesta. Jikapun tidak ada warga yang menggelar upacara nandan, bila ada hambatan, upacara ngusaba boleh diundur sampai hitungan pananggal ping kalih Sasih Jiyesta.

Rangkaian selanjutnya, sepuluh hari sebelum upacara ngusaba/nandan dimulai digelarlah upacara Matuun Sang Hyang. Ada dua acara penting dalam upacara ini, pertama nanceb kober putih di ujung jalan menuju setra. Upacara ini pertanda larangan, bahwa sepuluh hari sebelum ngusaba, masyarakat tidak dibolehkan mengubur jenazah, ngaben dan sebagainya. Wilayah setra berada dalam kondisi proteksi. Maksudnya supaya roh leluhur yang akan diminta turun ke bumi tidak dalam kondisi “ tercemar kesuciannya.”
Kedua, upacara matuun Sang Hyang sendiri, dilakukan di Pura Dalem Pakenca. Bagi warga yang menggelar upacara nandan akan mendatangkan seorang dasaran/tapakan atau Jero Seliran ke Pura Dalem Pakenca. Nah, kehadapan Jero Dasaran atau Tapakan inilah si penggelar upacara nunasang/ memohon nama-nama roh leluhur yang akan dibebaskan lewat upacara nandan. Dan sekalian lewat upacara matuun Sang Hyang ini si penggelar upacara “mengecek” keberadaan leluhur-leluhurnya, siapa-siapa yang belum atau sudah terbebaskan dari sosot Rare Angon. Di situ lalu si sentana (keturunanannya) menyatakan dengan tulus baik secara sekala maupun niskala bersedia menebus sosot leluhur.

Persiapan ketiga adalah upacara Nyaak dan Kurban sapi Jaga-Jaga di pelataran palinnggih Buit.Tiga hari sebelum upacara ngusaba/nandan dilakukan upacara Nyaak. Warga yang menggelar atau menghaturkan upacara panandanan membawa serta puspa lingga, simbol roh leluhur yang akan diupacarai di Pura Dalem Pakenca. Upacara dipuput pamangku setempat. Acara inti di sini adalah maktiang puspa, simbol roh leluhur dengan runtutan upacara mapegatan. Seluruh aparat desa hadir sebagai saksi terutama penyarikan (juru tulis) akan mencatat siapa-siapa nama roh leluhur yang diupacarai.
Selain mapegatan, mereka yang menggelar upacara nandan dikenai sejumlah kewajiban, diantaranya; bayar utang- utang, menghaturkan sangu buat prajuru desa, serta kewajiban administrasi lain soal penanjung batu yang aturannya tersurat dalam awig-awig desa.

Dalam acara mapegatan ada imba tulis baku yang diterima penyarikan desa. Imba tulis itu berbunyi sebagai berikut: “Atur ulun ring paduka Batara, wenten atur ulun ne samenten ring paduka Batara, kasadian pinunas ulun ring paduka Batara, puniki panawuran ulun, pegat saperantasan, muwah panawuran ulun ring trena-treni, tarulata, gulma jenggama, mangkin ulun tan wenten mautang ring paduka Batara, paduka Batara tan wenten mapihutangan ring ulun, muwah ring sentanan ulun, muwah saputra-putrakan ulun, apan sampun puput panawuran ulun ring paduka Batara, puniki penawuran ulun ring dina anu, tanggal anu, sasih anu, ingkel anu, rah anu, isaka anu, titiang I anu, sakling anu.”

Dengan begitu seluruh utang roh leluhur terlunasi dalam upacara mapegatan itu. Lalu kenapa prajuru desa ikut penerima dan menyaksikan upakara mapegatan? Di sini orang diadapkan pada pemahaman simbolik, prajuru itu dianggap wakil dewata.

Dalam upacara Nyaak disertakan kurban sapi jaga-jaga, sapi ini dikurbankan oleh desa. Sapi yang dipakai kurban adalah sapi cula, sapi yang telah dikebiri. Sapi ini kurban pengganti sapi yang dibunuh I Surakerta bernama Sapu Jagat. Sapi Jaga-Jaga ini diarak sepanjang jalan desa, dilukai, darahnya dicipratkan di jaba Pura Puseh dan sepanjang jalan desa.
Boleh jadi sapi ini juga dianggap sebagai caru pemberi tenaga untuk mengharmonikan dan menyucikan kembali wilayah desa. Pada upacara Nyaak ini puspa lingga, simbol roh leluhur yang telah usai melakukan upacara mapegatan di Pura Dalem Pakenca diharapkan sempat mapapas (berpapasan) serta-merta memegang tali sapi Jaga-Jaga yang baru saja datang dari Pura Puseh. Dengan demikian terhampuni pula seluruh sosot leluhur atas kutuk Rare Angon, dan lunas pula kewajiban sentana (keturunan) kehadapan roh leluhur.

Sampai di sini upacara Nyaak dianggap selesai – untuk selanjutnya sapi jaga-jaga dibawa ke sebuah tempat bernama Buit (di halaman SD No.3 Gunaksa). Di sini sapi disembelih, kepalanya diaturkan pada penguasa Buit, konon berwujud manusia besar bernama Panji Landung.
Dulu bangkai sapi itu dibiarkan busuk di tempat, hingga wilayah itu penuh bau busuk. Sejumlah sekaa tuak mencuri-curi daging itu. Inilah yang menjadi alasan kemudian daging sapi itu dibagi-bagi kepada krama banjar. Tapi kemudian ada kejadian aneh, sejumlah kasus pembunuhan terjadi di Gunaksa. Konon menyebabnya penguasa Buit marah, dan kini daging sapi Jaga-Jaga itu tidak lagi dibagi-bagi. Seterusnya bangkai sapi dikubur di tempat. Kenapa sapi disembelih di wilayah Buit? Ada dugaan di sinilah Surakerta cs. menyiksa membunuh sapi Sapu Jagat itu.

Rentetan upacara berikutnya adalah ngeladang tangluk, pemanggilan roh leluhur dari belengu hukuman. Dilakuakan pada hari panampahan ngusaba, sehari menjelang acara puncak. Upacara digelar di Setra Desa, menyertakan sejumlah sarana semisal, nasi takilan, seekor godel dandanan, sejumlah alat-alat bertani; bajak, tenggala dan sejumlah uang kepeng serta sarana lain.
Saat ngeladang tangluk, puspa, simbol roh leluhur juga diiring serta, dihadiri aparat desa. Ritual utama upacara ini adalah memanggil roh leluhur yang akan diupcarai. Sesaat sebelum pemanggilan, roh leluhur dianggap tengah menjalani “hukuman” – mereka dianggap sedang menjalankan kewajiban membajak, menyabit rumput– layaknya menjalani kerja rodi. Maka secara simboli juga dilakukan serentetan upacara bertani, seperti membajak, ngelampit, menyabit, dsb.

Dalam upacara ini roh-roh ditebus kehadapan Batara Prajapati dan Batara Rare Angon, supaya roh-roh itu dibebaskan dari hukuman, dibebaskan dari ikatan sosot. Di sini, mereka yang menggelar upacara nandan diwajiban membayar pada prajuru desa berupa panumbas padang (rumput), panumbas takilan (bekal) dsb. Keluarga bersangkutan kemudian memanggil nama-nama yang akan dibebaskan dalam upacara nandan esok hari.

Memasuki upacara puncak, digelar di Pura Pangulun Setra Dalem Cungkub, menyertakan aturan banten laapan. Yang utama adalah rangkaian mapurwa daksina, mengusung keliling, lumbung (simbol roh laki-laki) kumaligi (simbol roh perempuan) mengelilingi pelataran pura searah jarum jam. Upacara dipuput pemangku yang diberi wewenang. Lumbung yang dihias meriah itu berisi serangkaian; beras lima warna, benang, kelapa, uang kepeng,dihias orti (reringgitan janur penuh simbolik), serta perlengkapan lain.

Lumbung dan kumaligi diarak dalam rangkaian mapurwa daksina, di mana masing-masing lumbung itu diantar satu godel(anak sapi) yang baru bertanduk aguli, sebesar ibu jari. Godel-godel inilah diyakini mengantar (nandan) sang roh ke alam pembebasan. Kenapa aguli? Bisa jadi supaya mudah diisi benang tri datu dan uang kepeng. Usai mapurwa daksina, satu ekor godel disemblih palinggih Hyang Gagak. Godel yang dihaturkan itu bernama I Sankur Urung. Momen terakhir dari puncak panandanan ini adalah pamasmia, pembakaran puspa lingga, abunya ditanam di belakang Pura Dalem Cungkub. Bagi warga Tutuan abu puspa lingga itu ditanam di Pura Dalem Kangin. Dengan demikian upacara nandan dianggap usai, tinggal dilanjutkan dengan tiga kali upacara nyenuk — di mana berturut-turut saban tahun dilakukan.

Dari seluruh rangkaian upacara itu sesungguhnya tersirat makna, bahwa warga Tutuan di Gunaksa berniat menaikkan status leluhurnya ke jenjang lebih tinggi, dari status Dewa Hyang menjadi Sri. Dengan harapan beliau senantiasa melimpahkan kesejahteraan, “ngamertanin”… sentananya.

Desa Adat Gunaksa menpunyai tradisi upacara Nandan di gelar pada saat Ngusaba desa .Kali ini ulasan pelaksanaan ngusaba Nandan pada tahun 2002 lalu.Nah bagi generasi khususnya krama desa kelahiran tahun 2000 tentunya pingin tahu tradisi Nandan.Selain melihat tradisi ini juga dapat menyaksikan bentuk dari beberapa pura kahyangan tiga menjadi lokasi upacara ini belum di renovasi dan restorasi pada 18 tahun lalu.
Notifikasi
Video dikenai batasan usia (berdasarkan Pedoman Komunitas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *