Sejarah
Ki Mantri Tutuan Pratisentana Sira Dalem Mangori
Siapakah sebenarnya Ki Mantri Tutuan? Pertama, nama ini dikaitkan dengan cikal bakal Warga Tutuan di Bali. Kedua, sebagai tokoh yang dikaitkan langsung dengan pendirian dan keberadaan Pura-Pura di Kawasan Bukit Buluh, dan terutama terkait dengan pendirian Pura Bukit Buluh, Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung. Dalam sejumlah babad dan purana berbahasa Kawi-Bali, nama kecil Ki Mantri Tutuan adalah Satryawangsa. Sementara varian babad Tutuan yang lain, menyebut sebagai Arya Gunaraksa, Arya Wanasabha, dan mungkin ada sebutan yang lain.
Menurut penjelasan Prasasti Ki Mantri Tutuan yang tersimpan di Pura Bukit Buluh, Gunaksa, Sira Ki Mantri Tutuan itu adalah putra Dalem Mangori. Sementara Dalem Mangori merupakan putra Dalem Seganing–yang berasrama di kaki Gunung Agung Bali. Dalem Mangori kemudian menikah dengan gadis dari Keling (Jawa Timur), yakni cucu dari Mpu Galuh, bernama Mpu Hati. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Mangori. Ia memakai nama yang sama sebagaimana nama ayahnya.
Ratu Mangori adalah kakak lain ibu Satryawangsa atau Ki Mantri Tutuan. Ibu dari Ratu Mangori bernama Mpu Hati. Sementara ibu Ki Mantri Tutuan adalah Ni Berit Kuning. Dalam catatan prasasti Tutuan, Ni Berit Kuning adalah anak Raja Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur pada tahun 1016-1042. Jadi Airlangga itu adalah kakek Ki Mantri Tutuan dari garis ibu. Kita tahu Airlangga adalah putra sulung Raja Udayana di Bali. Ibunya bernama Mahendratta, adik Raja Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur (991-1007). Bisa diperkirakan keberadaan Dalem Mangori sebagai penguasa Keling sezaman dengan Raja Dharmawangsa Teguh — raja yang dalam kekuasaannya pernah membangun proyek literasi terbesar di Nusantara Jawa. Proyek besar itu bernama “Mangjawakén Byasamata”, yakni membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Biasa ke dalam bahasa Jawa. Dari proyek lahir sejumlah sastra parwa, yang mengisahkan bagian-bagian dari itihasa Mahabharata dan Ramayana.
Dari pemeriksaan raja sezaman, Ki Mantri Tutuan diperkirakan lahir antara tahun 1016 -1022 Masehi. Sebab, ketika sang kakek, Raja Airlangga masih berkuasa, sebagaimana dituturkan Prasasti Ki Mantri Tutuan, sang cucu sempat mengabdi di Keraton Airlangga. Dari sang raja, Ki Mantri Tutuan mendapat banyak tuntunan, terutama nasihat perihal kepemimpinan. Sementara catatan dari prasasti Gandhakuti, Airlangga meletakkan jabatannya tahun 24 Nopember 1042, dan setelahnya ia menjalani kehidupan sebagai Rsi di pertapaan Jalatunda, di Gunung Penanggungan.
Siapa sebenarnya ibu Ki Mantri Tutuan yang dianggap putri Raja Airlangga itu? Tak ada jawaban pasti. Prasasti Tutuan hanya menyebut namanya sebagai Ni Berit Kuning, ia dianggap sebagai turunan utama, anak Raja Airlangga yang meninggalkan kraton saat belia– saat mana kerajaan terkena grubug. Dalam penceritaan prasasti Pura Bukit Buluh, Ni Berit Kuning tinggal di tengah Hutan Keling. Ketika itu, penguasa Keling, Dalem Mangori punya kegemaran menghibur diri dengan cara berburu. Suatu hari, ia memasuki Hutan Keling, pembawa serta sepasukan tentara hutan (pangalasan), dan anjing pemburu. Sayang, Dalem Mangori gagal mendapat hasil buruan. Raja dan pasukannya pun letih, lalu menyusur hutan tak tentu arah. Di kelebatan hutan, di bawah rimbun pohon pisang, saat raja merabas-rabas batang pisang, Dalem Mangori menemukan gadis kecil yang nampak sedang sangat ketakutan. Prasasti Tutuan menyebut gadis belia ini sebagai “wong kayak.” Dalem kasihan melihat keadaan gadis kecil ini, wajahnya menawan, kulitnya kuning langsat, rambut ikal bergelombang. Tanpa berpikir panjang, Dalem Mangori mengajak gadis belia ini ke Keraton Keling. Dalem lalu memberi nama Ni Berit Kuning.
Tahun berjalan penuh liku, gadis kecil ini tumbuh makin dewasa, kecantikannya melenakan banyak penghuni kraton. Dan Dalem Mangori pun terkana panah asmara, dijamahnya Ni Berit Kuning hingga hamil. Cinta raja pada Ni Berit Kuning melahirkan seorang putra bernama Satryawangsa, yang kelak kemudian setelah kena sosot, karena melanggar petuah Dalem, namanya diganti menjadi Ki Mantri. Ki Mantri kemudian diadopsi Mpu Hati, ibu tirinya, ditetapkan [diperas] layaknya seorang kesatria, karena sungguh ia turunan Dalem Mangori.
Beranjak dewasa, setelah mengabdi di Kerajaan Airlangga, singgah sejenak di Kerajaan Blambangan Ki Mantri Tutuan menghadap Dalem Tegal Belesung di Samprangan, Gianyar, Bali. Sampai di sini pembaca menemukan anakronisme waktu susah dipercaya dalam pandangan sejarah kritis. Pertanyaannya, mungkinkan Ki Mantri Tutuan hidup dalam limit waktu sangat panjang? Mengingat jarak waktu periodesasi Kerajaan Airlangga [Kahuripan 929- 1051 M] — Kediri [1052-1222 M] — Singasari [1222 – 1292 M] – Majapahit [1293 – 1486 M] — Samprangan [awal 1352-1380 M]. Samprangan-Gelgel zaman Dalem Ketut Ngulesir [1380 – 1400 M]. Jarak waktu empat periode kerajaan ini kurang lebih 471 tahun, hampir memasuki tarik lima abad. Jadi kesimpulannya, “Ki Mantri Tutuan” yang datang ke Bali adalah jabatan yang diteruskan berdasarkan keturunan langsung Dalem Mangori. Karena memang dalam sistem kerajaan, jabatan itu sangat kerap diwariskan secara turun-temurun secara geneologis.
Namun, setelah singgah dan mengabdi di Kerajaan Blambangan, trah Ki Mantri Tutuan [entah keturunan keberapa] datang ke Bali, menghadap Dalem Tegal Belesung di Samprangan. Diperkirakan kedatangan Ki Mantri Tutuan ke Bali antara tahun 1380-1400 M. Menurut teks Babad Dalem dan Kidung Pamancangah, Dalem Tegal Belesung adalah putra bungsu Dalem Sri Kresna Kepakisan, dari ibu penawing Ni Gusti Ayu Kutawaringin. Sang kakak dari ibu prami [Ni Gusti Ayu Raras] kemudian menjadi Raja Gelgel pertama, bernama Dalem Ktut Ngulesir, bertahta tahun 1383 Masehi. Dalem Ktut Ngulesir adalah pengganti Dalem Agra Samprangan [Dalem Ile], sang kakak yang wafat tahun 1380 Masehi, berstana di Samprangan, Gianyar — kira-kira pusat keratonnya berada seputar Pura Jati–sebelum akhirnya pindah ke Gelgel. Perkiraan kita, kedatangan Ki Mantri Tutuan ke Bali, menjelang atau bersamaan pindahnya kraton Samprangan ke Sweccapura atau Gelgel. Sebagai adik, kedudukan Dalem Tegal Belesung ketika itu adalah “iwa raja”, setingkat penasihat raja. Atas prakarsa Arya Kebon Tubuh, Dalem Ketut Ngulesir kemudian dibuatkan istana di Gelgel, yang tiada lain bekas rumah tinggal Arya Kebon Tubuh.
Sebagaimana dicatatkan Kakawin Bhasa Wewatekan, karya Dewa Agung Istri Kania [1822-1860], Raja Klungkung yang memimpin perang Kusamba — ditambah catatan Kidung Pamancangah [1862], dan Babad Dalem — dua karya Ida Padanda Gde Rai, bahwa Kraton Gelgel atau pun juga Kraton Klungkung meniru tata bangunan Kraton Majapahit. Mengingat kedatangan Ki Mantri Tutuan pada masa-masa perpindahan Kraton Samprangan ke Gelgel atas inisiatif Arya Kebon Tubuh — bisa diduga Ki Mantri Tutuan tahu dan terlibat dalam perpindahan ini. Dan karena ia orang Jawa, paham tata letak Kraton Majapahit — Ki Mantri Tutuan dipastikan ikut membantu perancangan Kraton Gelgel — dan mungkin ia salah satu tim ahli atau arsitek raja saat itu. Sebagai orang yang telah diterima dengan baik, dikasi tempat tersendiri di Bukit Buluh, Ki Mantri Tutuan paham bagaimana memuliakan raja dengan pertimbangan-pertimbangan strategis.
Dengan segala kebaikan Dalem Tegal Belesung, Ki Mantri Tutuan diterima dengan baik di Keraton Samprangan, akhirnya. Di sini Ki Mantri Tutuan mendapat juga nasihat dan bhisama. Lalu atas peritah Dalem Tegel Belesung, Ki Mantri Tutuan dititahkan menetap di Padukuhan Bukit Buluh, menguasai wilayah timur Tukad Unda — di mana kemungkinan ada kekosongan penguasa di Bukit Buluh. Bukti prasejarah berupa sarkofagus, media kubur zaman Bali kuna menunjukkan wilayah Bukit Buluh adalah wilayah strategis. Kedatangan Ki Mantri Tutuan ke Bukit Buluh atas titah Dalem Tegal Belesung, maka dimulailah tata kelola baru kawasan bukit buluh ketika itu. Dan dari sini pula Ki Mantri Tutuan membangun dan merawat sejumlah pura untuk memuliakan leluhur dan para pendahulunya.
Bila coba dihitung kedatangan Ki Mantri Tutuan ke Bali, jika tarik awalnya kita taruh di tahun 1400 M, tepat pada pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir, maka masa datang Ki Mantri Tutuan ke Bali telah 618 tahun. Dan selama enam abad itu Ki Mantri Tutuan telah beranak-pianak di Bali, keturunannya tersebar hampir ke penjuru Nusantara– yang nantinya melahirkan Maha Samaya Warga Tutuan.
Lalu apa sesungguhnya alasan historis Ki Mantri Tutuan datang ke Bali? Pertanyaan ini memunculkan banyak spekulasi, alasan-alasan psiko-historis tentu tidak boleh diremehkan. Pertama, secara historis Ki Mantri Tutuan sesungguhnya cukup dekat dengan darah orang Bali. Dalem Segening, kakek buyut Ki Mantri Tutuan, sebagimana disuratkan dalam Prasasti Tutuan setidaknya pernah memiliki asrama di Kaki Gunung Agung, Bali. Sementara kakek dari garis ibu, dalam hal ini Raja Airlangga adalah putra Bali yang menjadi raja di Jawa Timur. Airlangga adalah putra raja Udayana, ibunya Dharmapati Udayana atau Mahendartta bersaudara dengan Dharmawangsa Teguh, mertua Airlangga. Lalu Ki Mantri Tutuan menghadap Dalem Tegal Blesung di Samprangan, Gianyar, yang kemungkinan alasan psikologisnya adalah, menganggap raja-raja ini masih berdarah Jawa — yang menjadi penguasa baru di Bali setelah runtuhnya Raja Sri Artasura Bumi Banten, raja Bali Kuna terakhir yang ditundukkan Majapahit di bawah panglima Gajah Mada.
Alasan kedua, sebagaimana digambarkan sejumlah varian prasasti Tutuan, leluhur Ki Mantri Tutuan, baik dari pihak ibu maupun dari pihak Dalem Mangori, rohnya dipercaya telah bersemayam di Bukit Buluh. Bahkan salah satu babad Tutuan yang kita ditemukan di Gelgel, Dalem Mangori dianggap nangun tapa dan moksa di Bukit Buluh. Adanya meru tumpang 11 membuktikan, bahwa yang dimuliakan di Pura Bukit Buluh adalah Bhatara Mangori dan Hyang Jatiningrat alias Raja Airlangga.
Namun dituliskan dalam prasasti, setelah menetap di Bukit Buluh, Gunaksa, Ki Mantri Tutuan menurunkan sejumlah putra, yakni I Wayan Tambahan dan Made Surakreta. Tak dikisahkan keturunan Made Surakreta, namun I Wayan Tambahan memiliki dua putra, yang sulung bernama Wayan Sri Danu, putra kedua bernama Made Sri Dana. Dari sini melewati sejumlah dinamika waktu– turunan Ki Mantri Tutuan menyebar ke seluruh Bali — diantaranya ke Tambahan, Bangli, Karangasem, Pujungan, dan tempat-tempat lainnya di Bali.
Bagaimana kisah Satryawangsa berganti nama menjadi Ki Mantri Tutuan, apa yang melatari adanya legenda Bale Pegat, kenapa Ki Mantri Tutuan tidak boleh makan buah timbul, sepenggal kisahnya kita kutip dari terjemahan Prasasti Ki Mantri Tutuan Pura Bukit Buluh. Begini diceritakan:
“Tiada lama berselang, setelah kelahiran Satryawangsa, Ni Berit Kuning berputra kembali, saat itu usianya kurang-lebih tujuh bulan. Tiba-tiba datang masa Kali, di tengah Hutan Keling dua orang Resi meletupkan api permusuhan, nama beliau Sang Resi Suntiwana, melawan Sang Resi Saba, diantara tetua yang dihormati melawan keturunan sendiri. Saling tusuk dengan tongkat tajam, kedua-duanya lalu meninggal, pulang ke surga, oleh sebab keutamaan tongkat itu, berasal dari taring Sang Hyang Kala, bernama I Sadug dan I Sadeg. Tombak tertinggal di tempat dua resi berperang. Tiba kemudian Dalem Mangori di tengah hutan, di tempat sang resi saling tikam, dilihat sang resi beradu raga, namun sayang sudah meninggal, pulang menuju surga.
Zaman Kali kemudian muncul di Keling, Ni Berit Kuninglah penyebab kehancuran itu. Kebingungan menguasai pikiran Ni Berit Kuning, putranya yang masih bayi dibunuh, tubuhnya dipotong-potong sang ibu. Usai ditetak daging ditaruh di dulang sajian makan Ida Dalem Mangori, ditutup dengan tudung saji.
Tidak diceritakan di perjalanan, datang kemudian Dalem Mangori, membawa serta tombak tajam milik dua resi itu, disimpan kemudian di pamrajan. Usai menaruh tombak, Dalem Mangori bicara pada Ni Berit Kuning, ” Wahai Ni Berit Kuning, di mana putraku”, bersembah kata kemudian Ni Berit Kuning, “Duhai junjungan hamba Dalem, putra paduka hamba taruh di dulang, hamba taruh dengan baik, sudah hamba potong-potong,” Ida Dalem Mangori melihat keadaan putranya di dulang, usai ditetak Ni Berit Kuning.
Dalem Mangori menatap putra kecilnya. Ingat akan kelahiran utama sang putra, itu sebab beliau iba, lalu menangis, mengucapkan bhisama. “Duh engkau rare cili, semoga dikau menjadi dewa utama, kelak engkau mendapat yasa, menjadi anak juru gembala, namun tiada keselamatan bagi turunan I Dawuh Baingin”, begitu kutuk Ida Dalem Mangori, lalu murka Ida Dalem Mangori, Ni Berit Kuning dipukul-pukul, ditarik-tarik di tanah, lalu dibuang keluar keraton
Diceritakan Ni Berit Kuning menuju hutan, tinggal di tengah Hutan Keling, dibuatkan pondok, di barat pondok ada sumur tanpa air, keseharian Ni Berit Kuning bercocok tanam, diantara yang disemai di tengah hutan, ubi, talas, pulada, hanya itu penghasilan di tengah hutan.
Dituturkan kelak, anak Ni Berit Kuning bernama I Satryawangsa, teringat sang ibu Ni Berit Kuning, itu sebabnya I Satryawangsa menghadap raja sembari menghatur sembah, “Duli Paduka Dalem, anakda hendak bertanya pada paduka, di mana tempat ibu anakda bernama Ni Berit Kuning?”. “Ibumu tinggal di tengah Hutan Keling”. I Satryawangsa bertanya kembali pada ayahda Dalem Mangori, “Ampun paduka Dalem, anakda mohon pada paduka Dalem, hendak bertemu ibu di tengah hutan.” Bersabda Dalem Mangori. “Wahai Satryawangsa, Bapa ijinkan dikau, namun ada permintaan Bapa, jangan engkau menyembah ibumu, sebab tidak boleh engkau menyembah ibumu, bila engkau menyembah, apus sirna keutamaanmu”. “Duli paduka Dalem, saya turut kehendak Dalem,” lalu menyembah pada duli Paduka Dalem.
I Satryawangsa bersiap menuju hutan, abdi dan pangalasan diberangkatkan, membawa serta anjing dan jaring. Semua yang datang mengiring serta, I Satryawangsa berjalan menuju Hutan Keling.
I Satryawangsa dan abdinya memasang jaring, menghasut-menggalakkan anjing, anjing menyakal-nyakal di tengah hutan. Tak seberapa lama Ni Berit Kuning ditemukan anjing-anjing itu, Ni Berit Kuning berlari masuk ke pondoknya, anjing memburu Ni Berit Kuning. Begitu pula para abdi, ikut pengejarannya, terkurunglah Ni Berit Kuning di pondoknya. Ni Berit Kuning menutup pintu, dan tidur. I Satryawangsa menangis, berucap rintih, “Ibu, tolonglah saya, mohon pandanglah saya, “Mendengar rintih I Satryawangsa, Ni Berit Kuning keluar dari pondok, diusap-usapnya muka I Satryawangsa. I Satryawangsa menjadi bingung, lalu berujar, “Ibu saya hendak melakukan sembah bakti pada ibu.” Ni Berit Kuning menjawab, “Duh putraku, jangan dikau menyembah ibu.” “Jangan begitu ibu.” I Satryawangsa mengitari sang ibu dari sela pondok, lalu menyembahnya, Ni Berit Kuning undur ke sebelah barat pondok, tiba-tiba pondok terbelah, itu sebabnya ada ‘bale pegat’.
Ni Berit Kuning jatuh ke sumur, meninggal di dasar sumur. Karena Ni Berit Kuning meninggal, I Satryawangsa bergegas melihat sang ibu di dalam sumur, roh Ni Berit Kuning lepas berupa burung Tuhu-tuhu sembari bersuara. Kembali I Satryawangsa memandangi sang ibu, dilihat raganya tumbuh menjadi pohon timbul. Itu sebabnya I Satryawangsa mengeluarkan bhisama pada pohon timbul, “Duh Ibu Ni Berit Kuning, Ibu mengwujud dalam pohon timbul, saya mempersembahkan kaul, kelak bila saya memakan timbul, keturunan saya supaya ditimpa sakit di semua sendi, karena Ibu Ni Berit Kuning tumbuh menjadi pohon timbul.
Pulang kemudian I Satryawangsa. Tidak diceritakan di jalan, tiba akhirnya di Keling, melaporkan kejadian ini pada Dalem Mangori dan Mpu Hati, perihal sang ibu Ni Berit Kuning jatuh ke sumur dan meninggal. “Jiwanya terbang menjadi burung Tuhu-tuhu, raganya tumbuh menjadi pohon timbul.” Begitu dihaturkan kehadapan Dalem Mangori, lalu bersabda, “Wahai engkau Satryawangsa, ada pesanku padamu, oleh karena engkau menyembah ibumu Ni Berit Kuning, semoga engkau Satryawangsa, jatuh guna dirimu dan keutamaanmu, engkau menerima arnawan ibumu, serta rupa perwujudannya.
Karena keadaan itu, I Satryawangsa diturunkan statusnya oleh Dalem Mangori, lalu mengabdi menetap di Bali, itu sebab I Satryawangsa dipanggil Ki Mantri Tutuan. “Namun engkau seketurunan tidak boleh memakan timbul, karena ibumu tumbuh menjadi pohon timbul.” Itu sebab I Satryawangsa dianugerahi perangkat/busana mantri sasana.
Panjang bila diceritakan, dulu saat di Gunung Mahameru, diberkati sangupati oleh Ida Dalem Mangori, “Duhai, anakku Satryawangsa, bila dikau bakti pada leluhur, begitu juga pada trah Dalem Mangori, semoga engkau menemui wibawa, bila engkau tidak bakti, semoga engkau kekurangan makan-minum, hendaknya menemukan api derita selalu”.
Dalem Mangori berangsur kelam, pulang kehariban Embang, penguasa berganti, dari turunan Bhatara Gnijaya, lahir dari Gunung Mekah, memegang kuasa di Hutan Terik, begitu juga Dalem Mahasakti di Brambangan, I Mantri Tutuan mengabdi pada beliau, kemudian dianugerahi piagem oleh Ratu Sakti, karena memang dari pihak ibu, I Mantri Tutuan trah Prabu Erlangga dari Kediri, dari garis ayah turunan Ida Dalem Mangori. Muasal I Matri Tutuan lahir dari ibu utama, ia sempat mengabdi pada Prabu Erlangga di Kediri.
Setelah lama I Mantri Tutuan, mohon pamit kehadapan Prabu Erlangga. I Mantri Tutuan kemudian pergi ke Bali, menghadap Ida Dalem Tegal Belesung, dikisahkan Ida Sang Prabu Erlangga di Kediri, tersebutlah cucu beliau seorang bernama Ratu Kuripan, ini yang berstana di Bukit Buluh, beliau laksana dewa utama, beliau diiring dua sosok bernama Ni Berit Kuning, dia berkuasa di Bukit Buluh, yang juga laksana dewa, penjaga Ratu Kuripan. Satu lagi Rare Angon, putra Ni Berit Kuning, yang dulu saat bayi dipotong-potong, dia telah menjadi dewa utama, menjaga keberadaan Bukit Buluh, sembari mengembala lembu.
Sampailah kini I Mantri Tutuan di Kerajaan Bali, menghamba pada duli paduka Ida Dalem Tegal Belesung, dan ini anugerah Prabu Erlangga dari Kediri pada I Mantri Tutuan perihal leluputan, “Tiada dikenai [sejumlah] kewajiban, jika dijatuhi hukuman mati boleh dibayar dengan uang 8.000, bila terkena denda arta, wajib dimaafkan, begitu hingga keturunanmu,” begitu penegasan penguasa Kediri pada I Tutuan, diijinkan memakai payung kuning, macacendekan, tersurat dalam keputusan pantang dibicarakan kembali, seluas utara Dukuh Sari, tempat berkubangnya Kebo Yos Brana, menjelang pujawali di Besakih, ka Gunung Lebah, saat Ida Dalem merestui lembaran ini, lalu menegaskan keputusan, bila ada yang mengurangi piagem ini, supaya hancur dikutuk Siwa-sasana dan Bhagawan Hyang Narada, begitu ditegaskan pemegang kuasa di Kediri.
Kemudian Ida Dalem Tegal Belesung kembali menganugerahi I Mantri Tutuan luput [hak bebas], karena I Mantri Tutuan senantiasa seturut kehendak Dalem Tegal Belesung, memuliakan Bhatara semua, dan tiada kena tulah raja.
“Ya Bhatara di Jembrana, di Gunung Batukaru, di Gunung Lebah, di Gunung Agung, di Gunung Sraya, di Gunung Rinjani, di Gunung Nusa, bila para patih dan raja penguasa mengurangi anugerah pemberkatan Ida Dalem Tegal Belesung, begitu juga sang brahmana, satria, wesia, mengurangi hak istimewa I Tutuan, semoga kena kutuk dewa saksi, seketurunan menemui bahaya besar, disambar kilat tanpa hujan, dihanyutkan banjir tanpa hujan, ditimpa tanah longsor, mati sepotong demi sepotong, dada terbelah, sakit gila dan saling tusuk melawan anak sendiri, bila datang ke hutan disergap macan, bila ke sungai dicaplok tonya dan buaya, dimangsa seisi laut, kena kutuk sumpah cor, serta semua kutuk terdahulu, semua cacat-sial mengerikan, panas derita dunia, turun-temurun dikenai kutuk, disaksikan bhatara semua, pemilik gunung, pemilik sungai, pemilik samudera, dan pemilik danau semua. Itulah penegasan Ida Dalem Tegal Belusung, ketika di Penataran Gunung Agung, [juga] saat beliau di Majapahit [guna] meneguhkan Titi Suara, dan raja purana Bhatara semua.
Kutuk dewa saksi ini diberkati brahmana, Bhatara Iswara, Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Mahadewa, Bhatara Uma, Bhatara Gana, Bhatara Surya, Bhatara Sambu, Bhatara dari Gunung Mekah, Bhatara dari Gunung Rinjani, Bhatara dari Jamur Jipang, Bhatara Pasupati, Bhatara dari Nusa, beserta Bhatara dari ujung bumi, penyebab dari tersebarnya manusia, semua yang dimohonkan kehadapan bhatara [adalah] perwujudan peleburan, penyaksi penganugerahan Ida Dalem Tegal Belesung perihal ‘kewajiban bebas’ [leluputan] I Tutuan…..”
Pura Bukit Buluh
Buda Pahing, Wuku Landep
20 Maret 2018